Agama VS Peradaban

Peradaban manusia saat ini diwarnai dengan aneka macam teknologi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Ilmu pengetahuan yang berkembang selama 300 tahun terakhir menandai babak baru dari peradaban manusia, dimana terjadi perkembangan yang revolusioner di dalamnya. Temuan-temuan baru pun senantiasa bermunculan dalam waktu singkat. Perkembangan ini memberikan kontribusi signifikan bagi kehidupan manusia. Banyak hal yang dahulu membutuhkan waktu panjang dan sulit dalam proses pelaksanaannya, kini semua itu dapat dilakukan dalam waktu singkat dan mudah.

Krisis Kemanusiaan
Namun, selain kemudahan dan kemajuan dalam berbagai bidang itu, peradaban kontemporer juga diwarnai dengan krisis kemanusiaan. Merebaknya organisasi-organisasi keagamaan yang menawarkan keselamatan dan kedamaian, yang bercirikan kultusisme kepada pemimpin dan eskapisme, merupakan cermin dari adanya kekecewaan. Di tengah berbagai fasilitas modern yang canggih, sebenarnya masyarakat modern mengalami kehampaan. Mereka tidak menemukan nilai-nilai transenden yang menawarkan makna hidup di dalamnya. Peradaban modern cenderung menawarkan kemewahan, konsumerisme, dan hedonisme. Manusia pun hidup dalam kesibukan mengejar kenikmatan dan kemewahan tersebut, yang seringkali justru menodai nilai-nilai luhur kemanusiaan. Lalu bagaimana peran agama di tengah krisis kemanusiaan modern?

Sejak lama agama diyakini memiliki seperangkat doktrin yang dapat memberikan solusi bagi kehidupan manusia. Pada masa awal kemunculannya, setiap agama mengalami pergulatan dengan problem sosial. Krisis sosial dan kemanusiaan adalah altar yang seringkai melatari munculnya agama sebagai suatu gerakan kritis. Peran Islam dalam konteks problem kemanusiaan dapat ditemukan pada ajaran-ajaran Tasawuf (mistisisme Islam), yang menawarkan keberagamaan esoterik (batiniyah) dan substantif.

Dalam sejarah kehidupan manusia, alienasi (keterasingan) sebenarnya sudah ada pada kehidupan para Nabi. Pada dasarnya kritik dan gugatan Nabi-nabi agama monoteis (tauhid) terhadap agama-agama kaum kafir tidak hanya terletak pada politeismenya—penyembahan kepada banyak Tuhan—, melainkan pada fakta alienasi diri. Dalam politeisme—terutama paganisme, yakni penyembahan kepada berhala—manusia tidak memandang patung sebagai hasil karya manusia, melainkan sebagai sesuatu yang terpisah dan independen dari manusia (pembuatnya). Patung yang sebenarnya merupakan ukuran dari keistimewaan manusia sebagai makhluk yang dapat mencipta—dalam batas tertentu—justru diletakkan sebagai sesuatu yang lebih tinggi dari manusia. Dalam konteks seperti ini manusia, sebagai pembuat patung, telah teralienasi dari ciptaannya sendiri. Patung tidak lagi dihayati sebagai hasil usaha produktif manusia, melainkan sebagai suatu sesembahan dimana manusia merendahkan diri kepadanya.

Berdasar pada fakta sejarah itu, alienasi dapat didefinisikan sebagai gambaran tentang kondisi keterasingan individu terhadap alam, masyarakat, dan dirinya sendiri, dimana tindakan manusia tidak berdasar pada kebebasan otonomi individunya, melainkan pada pada kekuatan-kekuatan di luar dirinya (Erich Fromm, 1955: 136-137).

Relasi Kepentingan
Kehidupan masyarakat modern ditandai dengan hubungan antarsesamanya yang selalu berdasar pada kepentingan-kepentingan. Bahkan dapat dikatakan bahwa hubungan itu tidak lebih sebagai relasi antarmesin yang saling menggunakan dan membutuhkan. Sebagaimana tercermin dalam diri seorang karyawan yang memanfaatkan pimpinan yang mempekerjakannya, begitupula para penjual yang memanfaatkan para pelanggannya. Setiap orang menjadi komoditas yang mengandung kepentingan bagi yang lainnya. Dalam relasi seperti itu hampir tidak ada rasa cinta dan kemanusiaan. Hubungan seperti ini lebih diartikan sebagai keakraban yang dangkal dan artifisial.

Kehidupan masyarakat modern bagaikan mesin, yang tertata secara mekanik tanpa perasaan. Mereka seperti atom-atom, yaitu partikel-partikel kecil yang saling menjauh tetapi tetap menjaga keutuhannya lantaran kepentingan pribadi dan keharusan untuk saling berguna bagi orang lain. Relasi antarsesama digerakkan oleh kepentingan egoistis, bukan oleh solidaritas kemanusiaan dan cinta sesama.

Di tengah krisis kemanusiaan seperti inilah peran agama semakin menemukan relevansinya. Nilai-nilai agama dapat memberikan suatu perlawanan terhadap kecenderungan reduksi nilai-nilai kemanusiaan. Agama menanamkan pandangan bahwa kebahagiaan dan kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh harta dan tahta, melainkan oleh keluhuran dan spiritualitasnya. Karena itu pula, relasi antarmanusia yang berlandas pada fungsi pragmatis tidak sesuai dengan kemuliaan manusia. Manusia dipandang mulia lantaran keluhuran akhlak dan perilakunya.(CMM/Hilaly Basya)




0 komentar: