Drama, berasal dari bahasa Yunani “dram” yang berarti gerak atau perbuatan. Dalam bahasa Inggrisnya “action”. Moulton dalam Dramatic Artis mengemukakan, drama adalah life presented in action atau suatu segi kehidupan yang disajikan dengan gerak. Dengan demikian, gerak (baik berupa bicara, isyarat, maupun gerak-gerik di panggung) merupakan esensi (pokok/utama) dalam drama.
Tonil, berasal dari bahasa Belanda “toneel” yang memiliki arti pertunjukan. Istilah ini mulai dikenal di Indonesia pada jaman penjajahan Belanda sebelum Perang Dunia II. Sandiwara, berasal dari bahasa Jawa “sandhi” yang berarti rahasia, dan “warah” yang berarti ajaran/pengajaran. Jadi Sandiwara dapat diartikan sebagai pengajaran yang disampaikan secara rahasia atau melalui perlambang-perlambang dalam suatu bentuk tontonan. Istilah ini mulai dikenal di Indonesia pada jaman penjajahan Jepang (1942-1945), sebagai pengganti kata toneel yang kebelanda-belandaan.
Komidi, berasal dari bahasa Inggris “comedy” yang berarti suatu bentuk pementasan yang jalinan ceritanya lucu. Namun di Indonesia pada masa penjajahan Belanda, komidi seringkali dimaksudkan sebagai Komidi Stambul, yaitu suatu bentuk drama yang selalu menyajikan cerita yang diangkat dari Istambul (ibukota Turki waktu itu). Komidi Stambul (bukan komisi jambul! Ini mah istilahnya para anggota dewan, pejabat, dan pengusaha! Heheh!) sering juga disebut Komidi Bangsawan karena hanya disajikan bagi kaum ningrat alias bangsawan.
Lakon, berasal dari bahasa Jawa yang mempunyai arti cerita atau perjalanan cerita. Istilah ini hanya dikenal dan dipakai di daerah Jawa, Bali, dan Madura serta daerah-daerah yang pernah dipengaruhi Kerajaan Majapahit.
Teater, berasal dari bahasa Yunani “theatron” yang berarti takjub memandang. Pada perkembangan berikutnya, teater mewakili tiga pengertian yaitu: (1) sebagai gedung tempat pertunjukan atau panggung, yakni sejak jaman Thucydides <471-295> dan Plato <428-348>, (2) sebagai publik/auditorium, yakni sejak jaman Herodotus <490-424>, (3) sebagai suatu bentuk karangan pertunjukan.
Teater, dengan demikian, dapat kita artikan dalam dua format: luas (general) dan sempit (spesifik).
Dalam arti kata luas, teater adalah segala macam jenis tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Misalnya wayang, ludruk, ubrug, reog, topeng, longser, lenong, tari, musik, sulap, sirkus, dan sebagainya. Bahkan pertandingan sepak bola dan sidang paripurna DPR(D) pun bisa kita sebut sebagai “teater”.
Dalam arti kata sempit, teater adalah kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan dan ditampilkan di atas pentas sebagai suatu bentuk kualitas komunikasi, situasi, gerak/action, yang menimbulkan perhatian kepada penonton/pendengarnya, dan disajikan dengan media percakapan/dialog, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor, musik, nyanyian, maupun tarian, didasarkan pada naskah tertulis (sebagai hasil karya sastra) atau tidak tertulis (improvisasi).
Teater, sebagai karya seni, memang berbeda dengan sebuah karya novel atau lukisan. Teater cenderung baru dianggap ada dan terjadi dan eksis pada saat aktor (-aktor) melakukannya dalam sebuah pertunjukan di muka publik atau dipentaskan atau dipanggungkan. Teater juga merupakan tempat pertemuan dari berbagai cabang kesenian sehingga disebut juga multi seni atau seni yang paling kompleks/lengkap. Di dalamnya terdapat seni sastra (naskah cerita/lakon), seni peran, seni tari, seni suara, seni deklamasi, seni musik, dan seni rupa. Oleh karena itu di dalamnya ikut pula terlibat berbagai seniman, sejak pengarang, aktor, sutradara, pelukis, pemusik, koreografer, perancang busana, perancang rias, dan sebagainya dan seterusnya. Bahkan juga tukang lampu, tukang konsumsi, dan entah apa lagi.
Hal tersebut tentu saja membutuhkan organisasi kerjasama yang baik antarseniman dalam suatu kerja bersama (ensamble) yang padu dan utuh. Bahasa politiknya: menjaga persatuan dan kesatuan, bersatu untuk maju, jujur-cerdas-berani, bersama kita bisa, kite keh! (hahaha! Emangnya iklan calon presiden/gubernur/bupati/walikota?)
Suyatna Anirun (alm), seorang tokoh teater dari Studiklub Teater Bandung (STB), pernah mengatakan bahwa teater adalah proses pemanusiaan ide-ide dan untuk mencapai itu teater harus lahir dan hadir dari kekuatan insani. Bukan hanya peragaan (visualisasi) sastra, musik, senirupa, acting, filsafat, dan sebagainya, atau hanya peristiwa dramatik (happening). Maka teater adalah denyut kehidupan itu sendiri yang bergelora dari tubuh dan sukma yang menyatu, menyalakan dan mengungkapkan dan menghidupkan kejujuran diri dan sekelilingnya.
Teater sebagai salah satu puncak perwujudan budaya manusia hanya bisa diciptakan oleh manusia-manusia yang mampu mengenali dan menguasai dirinya sebagai media cipta, memiliki daya imajinasi yang kuat, bersemangat, trampil, dan cerdas, dalam suatu totalitas. Semua itu tentu bukan semata bakat, tapi juga kesabaran dan daya tahan menjalani proses latihan yang panjang, berulang-ulang, terus-menerus, dan berkembang. Inilah bagian paling sulit itu: berproses! Sebab dunia sekeliling kita mengepung dengan segala hal-ihwal yang serba instant, genit, dan palsu. Ditambah lagi dengan hawa nafsu kita yang begitu besar pada sambutan, pujian, dan tepuk-tangan orang-orang lain.
Demikianlah. Selamat berteater!***
*) Penulis adalah penggiat dan pelopor teater di Serang
*) Foto depan: saat pertunjukan Asma Nadia dengan teater Cahya mementaskan "Jaring-jaring Merah" karya Helvy Tiana Rossa di Ode Kampung 2 Rumah Dunia.
*) Foto pertunjukan “Bicaralah Pada Tanah” karya Ndg. Aradea (foto Iwan Nitnet).
*) Foto depan: saat pertunjukan Asma Nadia dengan teater Cahya mementaskan "Jaring-jaring Merah" karya Helvy Tiana Rossa di Ode Kampung 2 Rumah Dunia.
*) Foto pertunjukan “Bicaralah Pada Tanah” karya Ndg. Aradea (foto Iwan Nitnet).
0 komentar:
Posting Komentar